Distingsi Mendisiplinkan Anak Dengan Hukuman

Distingsi Mendisiplinkan Anak Dengan Hukuman
Oleh ; Ahmad Abni
(Guru MTsN Gantarang Bantaeng)



Sebagai orang tua dan pendidik tentu sangat bahagia jika anaknya menjadi disiplin dalam segala hal. Anak yang disiplin sudah pasti menjadi dambaan bagi setiap orang tua dirumah maupun para pendidik di sekolah. Mengapa demikian? Anak yang disiplin dapat menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan dengan tanggung jawab yang tinggi. Selain itu, anak yang disiplin akan bersikap konsisten terhadap setiap komitmen yang dibangunnya sendiri maupun komitmen yang dibangun dengan orang lain. Bukan hanya itu, secara filosofis kedisiplinan merupakan emanasi dari moral baik, sedangkan moral baik adalah hakikat dan eksistensi dari penciptaan manusia. Dengan demikian, manusia yang disiplin berarti telah sejalan dengan rel dan sesuai dengan konsepsi Tuhan terhadap penciptaan manusia. Dalam arti ketidak disiplinan menjauhkan manusia dari sisi kemanusiaannya sebagai ciptaan Tuhan. Jika demikian adanya, maka kedisiplinan sangat urgen bagi setiap manusia dimanapun ia berada. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kedisiplinan itu adalah takdir  karena kedisiplinan bagian dari karakter. Maka benarlah apa yang disampaikan oleh Heraclitus di masa lampau bahwa ”karakter itu adalah takdir”.

         Sungguh sangat jauh berbeda keadaanya baik di rumah, di sekolah maupun di masyarakat jika anak dibiarkan tidak disiplin. Etos yang dibangun sedemikian rapinya demi keberhasilan anak akan buyar dan berantakan. Parahnya lagi jika anak sampai terlibat dalam sejumlah perbuatan kriminal sebagaimana yang marak terjadi di sejumlah daerah di Indonesia tak terkecuali di Sulawesi Selatan (Rampok, Geng Motor dan Begal). Bahkan baru-baru ini kita dikagetkan oleh penyelenggaraan “pesta terlarang” yang mengesploitasi dan memanfaatkan keluguan anak-anak sekolah demi keuntungan materi yang menihilkan moral. Kita harus mengakui bahwa semuanya berawal dari penegakan disiplin yang tidak berhasil sejak belia. Akibatnya dalam usia pencarian jati diri anak saat dewasa hanya diisi oleh dorongan impuls primitif dan sangat sulit digugah hati nuraninya.
Sebagai langkah prefentif perlu kiranya kita memperhatikan gagasan Laurence Steinberg (seorang psikolog dari Temple University) yang mengungkapkan bahwa untuk merubah karakter dan perilaku anak saat ia melakukan sesuatu yang tidak disukai, salah atau melanggar norma dapat dilakukan tiga hal yakni; menghukumnya, memberikan hadiah sebagai balasan karena telah merubah perilakunya serta memberikan penjelasan rasional akan akibat dari perilakunya.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah masih dibenarkan pemberian hukuman dalam pendidikan modern dan demokratis seperti sekarang ini? Bukankah tidak sedikit kalangan yang menentang pemakaian hukuman dalam konteks pendidikan dan pengasuhan?
Maksud dari Steinberg tentunya bukan menggeneralisasi hukuman dengan kekerasan dan kekasaran. Ada kalanya pemberian hadiah saat tidak melakukan kesalahan dan pemberian penjelasan rasional tidak akan berhasil dan menemui jalan buntu. Hukuman tentunya akan menjadi pilihan yang tepat untuk menegakkan disiplin itu. Hukuman bukan berarti buruk bagi perkembangan anak. Bukan pula berarti bahwa memakai hadiah dan penjelasan akan lebih efektif dari hukuman. Tentunya yang keliru dan tidak dibenarkan adalah justifikasi penegakan disiplin dengan kasar dan penggunaan kekerasan.
Bukankah Rasulullah SAW. mengajarkan untuk mangajari dan memperkenalkan anak kita melaksanakan sholat sejak dini, dan memerintahkan kita menghukumnya jika beranjak 10 tahun masih enggang melaksanakan sholat sebagai kewajiban. Ajaran ini tentunya masih sangat relevan dengan zaman sekarang sekaligus semakin menegaskan bahwa pemberian hukuman merupakan anjuran demi tegaknya ketaatan dan kedisiplinan. Tetapi yang penting untuk diperhatikan adalah kapan dan bagaimana pemakaiannya.  Hukuman, hadiah dan penjelasan akan berjalan efektif jika diterapkan dengan benar, tetapi bisa menjadi tidak efektif jika penerapannya salah.
Secara operatif pelaksanaan hukuman dilaksanakan dengan dua kategori. Pertama; “penonjolan kekuasaan” yaitu pelaksanaan hukuman dengan menggunaan kelebihan kekuatan dan kekuasaan maksudnya sebagai pendidik atau orang tua dapat mengurangi hak anak misalnya saja menyita barang-barang kesukaannya, mengurangi uang saku-dirumah, atau melipatgandakan tugas PR-disekolah. Sedapat mungkin menghindari hukuman fisik atau “menyiksa secara verbal”. “Menyiksa secara verbal” biasanya menggunakan kata-kata kasar, tidak senonoh, atau melecehkan. Seringkali karakter dan kreatifitas anak tidak berkembang atau bahkan mati disebabkan kekerasan verbal itu.
Perlu diingat bahwa penonjolan kekuasaan cenderung berhasil jika anak masih kecil. Bukan lagi ketaatan dan kepatuhan yang dicapai jika membentak anak saat usia dewasa tetapi malah bantahan dan perlawanan yang diperoleh. Penggunaan penonjolan kekuasaan pada anak usia dewasa hanya akan melecehkan harkat dan martabatnya apalagi itu dilakukan di depan komunitasnya.
Pelaksanaan hukuman kategori kedua adalah “penarikan cinta”. Pada hukuman ini tidak boleh memaknainya secara dangkal. Memberikan hukuman sama sekali tidak dibenarkan mencabut atau menghilangkan cinta kita kepada anak. Demi tercapainya keadilan tidak dibolehkan menjatuhkan hukuman dalam keadaan marah dan sakit hati. “Penarikan cinta” mengacu kepada semua jenis hukuman yang bermaksud untuk membuat anak merasa sedih, merasa bersalah, atau merasa malu karena membuat orang tua atau pendidik marah dan kecewa atas kesalahannya. Mendiamkan anak, bersikap dingin kepada anak atau menghindar karena marah merupakan wujud penarikan cinta itu. Dengan demikian anak akan bermuhasabah, mengevaluasi diri, merenungkan kesalahannya untuk tidak mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya. Setiap keinsyafan diri pastinya melewati pintu evaluasi dan perenungan. Keisyafan diri lebih berarti daripada keinsyafan yang ditimbulkan karena paksaan orang lain.
   Respon anak akan merasa dihargai, diakui keberadaannya dan dipandang bahwa dirinya merasa diperhatikan. Pemberian hukuman dengan penarikan cinta pada anak yang telah dewasa juga perlu sikap pendewasaan dengan meningkatkan kepekaan perasaan sehingga lirikan mata dan sindiran sudah cukup membuat anak merasa tidak enak hati bahwa dirinya telah ditegur secara halus. Namun ironisnya jika dikontekskan dengan zaman sekarang, malah lirikan mata dan sindiran hanya dijadikan bahan lolucon yang menandakan kepekaan rasa semakin tipis. Kita pasti masih ingat pepatah lampau untuk dipikirkan dan direnungkan “kerbau tahan palu, manusia tahan kias” .
   Pada akhirnya kebanyakan diantara kita orang tua dan pendidik telah keliru menerapkan hukuman kepada anak sehingga tidak sedikit orang tua dan pendidik terjerat hukum atas tuduhan tindak kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap anak. Pada hal pemberian hukuman yang diberikan semata-mata niat baik mendisiplinkan anak, tetapi malah fatal akibatnya. Akan lebih fatal lagi bagi eksistensi generasi bangsa ini jika orang tua dan pendidik dijangkiti sikap apatis-acuh tak acuh terhadap sikap vandalis anak. Tidak sedikit orang tua dan pendidik yang merasa phobia memberikan hukuman kepada perilaku anak yang salah karena ketakutan berurusan dengan hukum. Sangat keliru jika kita mencari titik aman dari tuntutan hukum ketika tidak peduli lagi dengan anak-anak kita sendiri .
Wallahu a’lam bissawab.
RIWAYAT PENULIS
Penulis                       : Ahmad Abni
No. Tlp /HP              : 081343718586 / 085395260360
Pekerjaan                   : Guru PPKn MTs Negeri Gantarang Bantaeng
E-Mail                       : bn15pd@yahoo.com
Alamat                      : BTN Griya Praja Wibawa Lembang Loe Bissappu
                                                              Bantaeng.   
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MEDIA PEMBELAJARAN PPKn

CARI ARSIP BERITA

Arsip Berita

Arsip Berita

VIDEO / YOUTUBE

Total Tayangan Halaman

FOLLOWERS

Terjemahan